Sabtu, 25 Oktober 2014

FALSIFIKASIONISME




Falsifikasionisme berasal dari bahasa Inggris “falsificationism”. Falsifikationisme adalah paham yang meyakini bahwa suatu teori harus ada peluang di dalam teori tersebut untuk dapat disalahkan. Karl Raymund Popper adalah orang yang mengembangkan paham falsificationisme ini. Popper memberikan alternatif metodologi dalam filsafat ilmu yaitu “The thesis of refutability” yang singkatnya suatu ucapan atau hipotesa bersifat ilmiah kalau secara prinsipal terdapat kemungkinan untuk disangkal atau di kritik. Menurut Popper, tujuan dari suatu penelitian ilmiah adalah untuk membuktikan kesalahan hipotesis, bukan untuk membuktikan kebenarannya. Karena jika kita sibuk mencari kebenaran-kebenaran suatu ilmu pengetahuan, maka ilmu tersebut tidak akan berkembang. Ilmu itu berkembang dengan sebuah usaha penyalahan dan bukan pembenaran. Adapun tujuannya adalah membedakan antara science dan pseudo-science. Sebuah teori yang tidak dapat terfalsifikasi digolongkan sebagai pseudo-science. Sebaliknya, yang dapat terfalsifikasi digolong sebagai science. Ini merupakan kritik terhadap positivisme logis lingkaran Wina. Positivisme logis adalah suatu aliran pemikiran yang memiliki pandangan dan sikap yang bahwa hanya ada satu bentuk pengetahuan yakni yang didasarkan atas pengalaman dan positivisme logis ini memiliki paham verificationism yaitu pembenaran. Sedangkan kalau falsifikasionisme adalah penyalahan. Sepertinya kedua asumsi ini terlihat sangat lah bertolak belakang. Namun sama-sama berpendapat sumber pengetahuan berdasarkan pengalaman. Positivisme logis ini sebenarnya justru menimbulkan dogmatis pada ilmu yang menurut paham ini bahwa pengalaman tidak mungkin salah. Ini merupakan puncak dogmatisme. Keilmiahan sebuh teori bukan yang penting dapat diverifikasi benar atau dijustifikasi benar namun seharusnya bisa disalahkan, disangkal, dan diuji. Menurut Popper semakin besar potensi teori untuk disalahkan maka teori itu semakin bagus. Teori yang baik adalah teori yang mengemukakan klaim yang sangat luas jangkauannya tentang dunia, dan yang konsekuensinya paling tinggi falsifiabilitasnya dan dapat bertahan terhadap falsifikasi jika ia diuji. Semakin kita menemukan kesalahan demi kesalahan maka kita akan semakin dekat dengan kebenaran. Namun jika semakin kuat teori-teori tersebut bertahan (berkoroborasi) maka semakin dekat pula dengan kebenaran, tapi cukup sampai disini, tidak lebih. Teori tidak bisa benar 100%. Status sebuah teori hanya mungkin benar atau kira-kira benar. Tuntutan bahwa sebagai ilmu yang sedang berkembang maju, teori-teorinya harus makin falsifiabel, dan sebagai konsekuensinya harus mengandung makin banyak isi dan makin informatif sifatnya, mengenyampingkan modifikasi-modifikasi di dalam teori yang dirancang hanya untuk melindungi teori dari ancaman falsifikasi (modifikasi ad hoc). Contohnya: misalkan ada sebuah teori bahwa semua roti sehat, namun di temukan di Prancis ada roti yang tidak sehat. Lalu teori tersebut di modifikasi menjadi semua roti sehat kecuali roti yang di Prancis. Sebenarnya paham ini juga memiliki keterbatasan yaitu ketergantungan observasi pada teori dan falibilitas falsifikasi, karena menurut Popper sebelum di adakan observasi harus ada teori terlebih dahulu, dan kompleksitas dari situasi pengujian yang realistis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar