Sabtu, 25 Oktober 2014

Kategori Imperatif Immanuel Kant



Immanuel Kant adalah filsuf Jerman kelahiran 22 April 1724.  Menurut Kant, ada tiga patokan untuk menentukan apakah perbuatan seseorang dikategorikan sebagai tindakan bermoral atau tidak. 


Tiga hal ini dalam pemikiran etika Kant masuk dalam syarat-syarat imperatif kategoris, yaitu perintah mutlak yang wajib kita patuhi. Ketiga patokan tersebut adalah prinsip hukum umum, prinsip hormat terhadap person, dan prinsip otonomi.

Pertama, sebuah tindakan dapat disebut sebagai tindakan yang bermoral apabila tindakan tersebut berdasarkan pada prinsip hukum umum. Prinsip hukum umum itu berbunyi sebagai berikut: ”Bertindaklah selalu berdasarkan maxim yang bisa sekaligus kamu kehendaki sebagai hukum umum”. Yang dimaksud dengan maksim adalah prinsip yang berlaku secara subjektif, yang merupakan patokan individu dan personal. Maxim dibedakan dari ‘hukum’, yang maksudnya adalah prinsip objektif yang berlaku bagi semua orang tanpa kecuali. Maksud Kant dengan prinsip hukum umum tersebut sebenarnya begini: untuk mengetahui apakah tindakanku itu wajib aku lakukan atau tidak, maka aku harus bertanya apakah maximku dapat diuniversalisasikan atau tidak. Jika prinsip atau maximku itu dapat diuniversalisasikan alias dapat diterapkan untuk semua orang, maka tindakanku itu wajib aku lakukan. Tapi jika tidak dapat diuniversalisasikan, maka aku tidak wajib melakukan tindakan tersebut. Sebagai contoh adalah sebuah kasus, yaitu seorang anggota dewan yang tidur di waktu sidang paripurna DPR karena merasa tidak ada yang memperhatikannya. Bagi anggota dewan ini, maxim/prinsip yang ia pakai adalah sbb: “Jika saya sedang mengikuti sidang paripurna, dimana masing-masing anggota dewan sibuk dengan perhatiannya masing-masing, maka saya akan menggunakannya untuk tidur”. Nah untuk mengetahui apakah tindakannya ini wajib dilakukan atau tidak, maka ia harus bertanya apakah prinsip/maxim yang ia gunakan itu dapat diterapkan secara universal kepada semua orang atau tidak. Untuk contoh kasus di atas, tentu saja jawabannya tidak bisa. Sebab andai saja maxim yang ia pakai tersebut digunakan oleh semua anggota dewan, maka tujuan sidang tidak akan tercapai. Hal ini karena setiap anggota dewan, lantaran merasa tidak ada yang memperhatikannya, akan tidur di setiap sidang paripurna. Dan kalau ini yang terjadi, tentu sidang paripurna DPR tidak akan terlaksana dan justru kekacauan yang muncul. Karena maxim tersebut tidak dapat diuniversalisasikan, maka tindakan tersebut tidak boleh dilakukan. 


Syarat kedua agar tindakan kita bisa dikategorikan sebagai tindakan bermoral adalah penghormatan terhadap person. Prinsip ini berbunyi: ”Bertindaklah sedemikian rupa sehingga engkau selalu memperlakukan umat manusia, entah itu di dalam personmu atau di dalam person orang lain, sebagai tujuan pada dirinya sendiri, bukan sebagai sarana”. Prinsip ini mau mengatakan dua hal. Pertama, aku tidak boleh menjadikan diriku sendiri ataupun diri sesamaku sebagai sarana belaka. Kedua, dalam mengambil pertimbangan-pertimbangan moral, kita wajib memperhatikan pihak lain. Contoh dari prinsip kedua ini adalah tindakan orang yang akan bunuh diri karena beratnya beban yang ia tanggung. Menurut Kant, sebelum orang tersebut melakukan bunuh diri, ia harus bertanya dulu: apakah tindakan bunuh diri ini sesuai dengan prinsip hormat kepada manusia atau tidak. Apabila ia bunuh diri untuk lepas dari penderitaan, maka mungkin saja ia tidak merugikan orang lain. Tetapi tidak dengan dirinya sendiri. Sebab melakukan bunuh diri berarti ia tidak menghormati personnya sendiri, dan hanya memperlakukannya sebagai sarana untuk melepaskan penderitaan. Karenanya jelas tindakan ini tidak boleh dilakukan. 


Prinsip ketiga yang membuat sebuah tindakan disebut sebagai tindakan bermoral adalah prinsip otonomi. Prinsip ini mengatakan: “Bertindaklah sedemikian rupa dimana kehendak dari dirimu sendirilah yang menentukan tindakan tersebut”. Maksud dari prinsip ini adalah semua tindakan yang kita lakukan harus murni karena kehendak dan keinginan kita sendiri, bukan karena pengaruh apalagi paksaan dari orang lain. Kant menyebut prinsip ini dengan ‘kehendak otonom’, yaitu kehendak yang mau melakukan sesuatu berdasarkan hukum yang ditentukannya sendiri. Lawan dari kehendak otonom adalah kehendak heteronom, yaitu melakukan sesuatu bukan karena kehendak kita sendiri, tetapi demi hukum di luar hukum orang tersebut, seperti karena ikut-ikutan orang lain. 


Seturut dengan prinsip ketiga ini, Kant membedakan antara legalitas dan moralitas. Legalitas adalah tindakan yang sesuai dengan kewajiban/hukum. Legalitas merupakan tindakan yang dilakukan bukan karena kecenderungan langsung, melainkan demi kepentingan tertentu yang terpuji atau menguntungkan. Misalkan saja ada seorang penjual yang tidak mau menipu pembelinya. Menurut Kant, tindakan penjual tersebut belum tentu bermoral. Karena bisa jadi ia melakukan itu bukan karena tindakan itu baik, tetapi agar pembelinya terus menjadi pelanggannya. Kalau demikian adanya, maka tindakan penjual tersebut tidak masuk kategori bermoral, tetapi hanya legal saja. Sedangkan moralitas adalah tindakan yang dilakukan demi untuk kewajiban. Tindakan ini mengesampingkan unsur-unsur subjektif seperti kepentingan sendiri, melainkan berpedoman pada kaidah objektif yang menuntut ketaatan kita begitu saja, yaitu hukum yang diberikan oleh rasio dalam batin kita.


Saya sedikit tidak setuju dengan pemikiran ini, karena keputusan moral ini sebenarnya sangat kontekstual tidak hanya melibatkan akal pikiran, namun juga melibatkan perasaan. Meskipun misalkan kita di wajibkan untuk patuh terhadap hukum yang berlaku, dan saudara kita di cari oleh pihak yang berwajib untuk dibunuh dan dihukum mati tanpa sebab atau karena menyimpan rahasia negara yang tak boleh untuk di ungkapkan, jika di ungkapkan maka pemerintahan tersebut akan hancur, sedangkan keputusan itu ada ditangan kita untuk memberi tahu atau tidak, jika menurut Kant pasti lah ia akan beri tahu, tapi apakah tidak ada konflik batin yang berkecamuk dalam diri kita? Terkadang keputusan moral dan ketentuan bermoral atau tidak itu juga melibatkan perasaan dan sifatnya kontekstual. Kant seakan-akan tak melibatkan unsur perasaan untuk menentukan keputusan moral, hanya rasio semata. Padahal, perasaan yang sangat bisa melihat apakah tindakan tersebut sadistik atau tidak, atau pantas kah atau tidak, banyak ranah rasio yang tak dapat menggapai perasaan dan banyak pula ranah perasaan yang tak dapat menggapai rasio. Jadi seharusnya kedua hal yang sangat bertolak belakang ini dapat di libatkan dan di seimbangkan satu sama lain agar mendapatkan sesuatu hal yang dapat dikatakan bermoral.

Realitas dan Universalitas



Apakah realitas?Apakah Universalitas? Dan apakah kaitan diantara keduanya?


Dalam dunia sehari-hari kita biasa mengetahui kalau realitas adalah kenyataan. Bagi kebanyakan orang realitas hanyalah kenyataan yang hanya bisa dilihat oleh panca indera manusia. Apakah benar begitu adanya? Bukankah manusia juga memiliki keterbatasan dalam penginderaan masing-masing? indera manusia tak dapat 100 persen dapat berjalan dengan baik, indera manusia memiliki tingkat ketajaman yang berbeda-beda satu sama lain, bahkan ada yang tidak berfungsi, jadi apakah kita tidak ragu, manakah kenyataan yang benar adanya?Apakah kenyataan yang benar adalah kenyataan dapat saya rasakan?atau orang lain rasakan melalui indera mereka? Menurut saya, realitas adalah segala sesuatu yang ada di dunia eksternal, dan sebagian kecil dapat di jangkau dengan panca indera, dan sebagian besar tak dapat dapat dijangkau dengan panca indera . Realitas terbagi 2, yaitu yang terukur dan terbatas, dan realitas yang tak terukur atau tak terbatas. Tolak ukur dan batasnya adalah kemampuan manusia untuk mengetahui realitas yang tak terbatas tersebut. Realitas yang tertangkap panca indera, misalnya meja,kursi,dll. Sedangkan yang tak tertangkap panca indera yaitu seperti Tuhan, setan, iblis,dll. Realitas bukanlah konsep, melainkan kenyataan yang ada di dunia eksternal kita.. Bagaimana keterkaitan antara realitas dan universalitas? Universalitas adalah keterkaitan antara realitas yang satu dengan yang lain sehingga timbullah suatu penamaan yang menjadikan realitas-realitas tertentu menjadi 1 kategori yang sama, baik dalam aspek spesies, genus, atau dimensi bentuk dan atribut lainnya. Misalkan kucing, kucing bukan hanya 1, melainkan dari banyaknya binatang dikumpulkan dan dikategorikan menjadi suatu konsep yang dinamai “kucing” karena memiliki persamaan-persamaan. Akan tetapi permasalahannya apakah universalitas itu benar-benar ada dialam, ataukah hanya penamaan yang dilakukan oleh manusia. Menurut pendapat saya universalitas memang sudah ada di alam, tapi hanya di namakan oleh manusia untuk pengkategorisasian. Itulah keterkaitan antara realitas dengan universalitas. Meskipun realitas menunjukkan tak ada yang persis sama, masing-masing memiliki keunikan sendiri-sendiri, tapi di reduksi menjadi kategori-kategori, karena di tinjau dari banyaknya persamaan-persamaan yang dimiliki oleh sekelompok tertentu dalam realitas.

FALSIFIKASIONISME




Falsifikasionisme berasal dari bahasa Inggris “falsificationism”. Falsifikationisme adalah paham yang meyakini bahwa suatu teori harus ada peluang di dalam teori tersebut untuk dapat disalahkan. Karl Raymund Popper adalah orang yang mengembangkan paham falsificationisme ini. Popper memberikan alternatif metodologi dalam filsafat ilmu yaitu “The thesis of refutability” yang singkatnya suatu ucapan atau hipotesa bersifat ilmiah kalau secara prinsipal terdapat kemungkinan untuk disangkal atau di kritik. Menurut Popper, tujuan dari suatu penelitian ilmiah adalah untuk membuktikan kesalahan hipotesis, bukan untuk membuktikan kebenarannya. Karena jika kita sibuk mencari kebenaran-kebenaran suatu ilmu pengetahuan, maka ilmu tersebut tidak akan berkembang. Ilmu itu berkembang dengan sebuah usaha penyalahan dan bukan pembenaran. Adapun tujuannya adalah membedakan antara science dan pseudo-science. Sebuah teori yang tidak dapat terfalsifikasi digolongkan sebagai pseudo-science. Sebaliknya, yang dapat terfalsifikasi digolong sebagai science. Ini merupakan kritik terhadap positivisme logis lingkaran Wina. Positivisme logis adalah suatu aliran pemikiran yang memiliki pandangan dan sikap yang bahwa hanya ada satu bentuk pengetahuan yakni yang didasarkan atas pengalaman dan positivisme logis ini memiliki paham verificationism yaitu pembenaran. Sedangkan kalau falsifikasionisme adalah penyalahan. Sepertinya kedua asumsi ini terlihat sangat lah bertolak belakang. Namun sama-sama berpendapat sumber pengetahuan berdasarkan pengalaman. Positivisme logis ini sebenarnya justru menimbulkan dogmatis pada ilmu yang menurut paham ini bahwa pengalaman tidak mungkin salah. Ini merupakan puncak dogmatisme. Keilmiahan sebuh teori bukan yang penting dapat diverifikasi benar atau dijustifikasi benar namun seharusnya bisa disalahkan, disangkal, dan diuji. Menurut Popper semakin besar potensi teori untuk disalahkan maka teori itu semakin bagus. Teori yang baik adalah teori yang mengemukakan klaim yang sangat luas jangkauannya tentang dunia, dan yang konsekuensinya paling tinggi falsifiabilitasnya dan dapat bertahan terhadap falsifikasi jika ia diuji. Semakin kita menemukan kesalahan demi kesalahan maka kita akan semakin dekat dengan kebenaran. Namun jika semakin kuat teori-teori tersebut bertahan (berkoroborasi) maka semakin dekat pula dengan kebenaran, tapi cukup sampai disini, tidak lebih. Teori tidak bisa benar 100%. Status sebuah teori hanya mungkin benar atau kira-kira benar. Tuntutan bahwa sebagai ilmu yang sedang berkembang maju, teori-teorinya harus makin falsifiabel, dan sebagai konsekuensinya harus mengandung makin banyak isi dan makin informatif sifatnya, mengenyampingkan modifikasi-modifikasi di dalam teori yang dirancang hanya untuk melindungi teori dari ancaman falsifikasi (modifikasi ad hoc). Contohnya: misalkan ada sebuah teori bahwa semua roti sehat, namun di temukan di Prancis ada roti yang tidak sehat. Lalu teori tersebut di modifikasi menjadi semua roti sehat kecuali roti yang di Prancis. Sebenarnya paham ini juga memiliki keterbatasan yaitu ketergantungan observasi pada teori dan falibilitas falsifikasi, karena menurut Popper sebelum di adakan observasi harus ada teori terlebih dahulu, dan kompleksitas dari situasi pengujian yang realistis.